Halaman

Kamis, 15 April 2010

Ghazwul Fikri di Pelupuk Mata

assalaamu’alaikum wr. wb.

Kuman di seberang lautan jelas kelihatan.

Ghazwul fikri di pelupuk mata, kelihatan nggak ya?

Sungguh sangat memalukan jika sekarang ini ada Muslim yang menganggap dirinya tidak sedang dikepung oleh kekuatan-kekuatan yang hendak melumatkan Islam di seluruh muka bumi ini. Yang hendak dimusnahkan bukan populasi manusianya, melainkan aqidah-nya.



Tanda-tandanya sudah terlalu jelas kelihatan. Di Poso, umat Islam dibantai habis. Ada yang diikat, kemudian disiksa sampai mati. Ada juga yang ‘lebih beruntung’ sehingga langsung dibunuh setelah ditangkap. Setelah serangkaian tragedi yang demikian menyedihkan itu, kini pemerintah malah asyik mengobrak-abrik pesantren-pesantren yang diduga sebagai ‘sarang ekstremis’. Hal yang sama juga pernah terjadi di Maluku dengan modus operandi kurang lebih sama. Dibantai, dibiarkan, dibekuk dan dilucuti ketika melakukan perlawanan, setelah itu diberi cap ekstremis. Mungkin banyak yang lupa bahwa “ekstremis” adalah sebutan yang diberikan pemerintah kolonial Belanda dahulu kala kepada para pejuang kemerdekaan dan pembela kebenaran di negeri ini.



Barat habis-habisan mengucurkan dana untuk membiayai mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang ingin belajar Islam kepada dosen-dosen Yahudi dan Nasrani. Jangan heran, karena beginilah kenyataannya. Semua orang akan tertawa melihat lulusan SMA berbaris mendaftarkan diri untuk belajar kedokteran kepada masinis kereta, tapi entah mengapa program studi Islam yang dikelola oleh umat Non-Muslim tidak dianggap menggelikan. Hasilnya cukup mengagumkan. Nurcholis Madjid berangkat ke Chicago dengan gelar ‘Natsir Muda’, dan pulang dengan ideologi sekuler murni, bahkan banyak pula yang menganggapnya telah murtad mutlak, sehingga ia dianggap lebih pantas mendapatkan gelar ‘mendiang’ daripada ‘almarhum’.



Kucuran dana dari negeri-negeri Barat untuk ikut campur dalam urusan umat Islam memang seolah tak ada habis-habisnya. Ulil Abshar Abdalla tak malu-malu mengakui bahwa JIL menerima dana begitu banyak setiap tahunnya dari The Asia Foundation dan donatur-donatur lainnya. Dengan dana yang kuat, mereka mampu mencengkeram beberapa siaran radio untuk menyebarkan propagandanya, mencetak majalah Syir’ah, bahkan hegemoninya nampak jelas terlihat pada MetroTV yang akhir-akhir ini lebih rajin menyuarakan ‘voice of America’ daripada suara bangsanya sendiri.



Jauh dari hari raya umat Kristiani, disiarkanlah film-film para Nabi dengan konsep yang sangat rancu. Entah dalam rangka apa, tiba-tiba film tentang Abraham dan Noah disiarkan di televisi. Tidak ada penjelasan yang memadai untuk menerangkan kepada masyarakat awam bahwa kedua film ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Nabi Ibrahim as. dan Nabi Nuh as. dalam ajaran Islam. Kebetulan? Kelihatannya tidak.



Muncullah aliran sesat, dan untuk segala hal yang sesat, kaum liberalis pasang badan untuk membelanya. Mereka buat opini seolah-olah MUI telah memprovokasi warga untuk main hakim sendiri, seolah-olah ulama di negeri ini jumud semuanya, dan seolah-olah aliran-aliran sesat itu tidak berdosa sama sekali. Disembunyikanlah fakta-fakta mengerikan dari publik. Tidak ada diantara mereka yang membahas betapa kejinya cara aliran-aliran sesat itu mengumpulkan dana, yaitu dengan merampok dari siapa pun yang dianggapnya kafir. Masyarakat diarahkan untuk lupa bahwa aliran-aliran sesat itulah yang telah duluan menuduh orang lain sebagai kafir, bukan sebaliknya. Orang-orang yang mengikuti ulama pasti menjadi anak-anak yang baik, sedangkan para pengikut aliran sesat dijamin durhaka. Ini adalah rumus yang pasti dan terbukti secara empiris, namun tak pernah dibahas oleh orang-orang liberalis, termasuk dalam dialog-dialog yang disiarkan di televisi.



Ketidakjujuran adalah prosedur standar bagi mereka. Charles Kurzman mencatut nama Mohammad Natsir dan Yusuf al-Qaradhawi, Cak Nur mencatut nama Ibnu Taimiyah, Jalaluddin Rahmat mencatut nama Rasyid Ridha, Ulil Abshar Abdalla mencatut nama Al-Ghazali dan beberapa ulama lainnya, dan seterusnya. Operasi spionase pun mereka lakukan dengan cukup rapi. Abdul Munir Mulkhan dan Dawam Rahardjo dulu rajin sekali bicara dengan mencatut nama Muhammadiyah, sebagaimana Masdar F. Mas’udi dan Ulil pun sering menggunakan nama NU. Pada jamannya Syafii Maarif, berdirilah Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang kentara benar kedekatannya dengan JIL, namun alhamdulillaah ujung-ujungnya tidak diakui oleh Muhammadiyah sendiri.



Tempo hari, diadakan acara tahunan konferensi studi Islam di Riau. Lucunya, pembicara utamanya nyaris tak ada yang Muslim. Yang ada malah Nasr Hamid Abu Zayd, yang telah divonis murtad oleh lebih dari dua ribu ulama di Mesir. Orang yang satu ini bisa dianggap ‘nabi’ di kalangan liberalis, bahkan lebih. Orang-orang liberalis telah terbiasa mengkritisi (bahkan mencurigai) Rasulullah saw., namun tak pernah terdengar kabar yang menyebutkan bahwa mereka mengkritisi pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd. Tokoh ‘ajaib’ yang satu ini adalah penyebar hermeneutika di kalangan umat Islam, anti-syariat Islam, anti Imam Syafii, dan konon pernah mengecap ‘masa-masa indah’ dengan kaum homoseksual di AS (hal ini diucapkannya sendiri dalam buku memoarnya, namun tak pernah ada penjelasan mengenai ‘masa-masa indah’ tersebut).



Dengan kuasa Allah, para ulama cepat bertindak. Kedatangan Nasr Hamid Abu Zayd segera dilaporkan ke kepolisian, dan masalah hermeneutika serta berbagai pelecehan yang telah dilakukan Abu Zayd terhadap ajaran Islam diperesentasikan. Alhamdulillaah, kepolisian yang mayoritas Muslim pun tergerak hatinya dan akhirnya melarang kehadiran sang penghina Al-Qur’an ke konferensi tersebut.



Abu Zayd pun beralih ke Malang. Di Malang, para ulama pun bertindak sigap. Berita disebar, dan masyarakat merespon balik. Lagi-lagi Abu Zayd ditolak. Maka ia pun mencari tempat yang paling aman bagi para pembenci syariat, yaitu The Wahid Institute. Dengan berlindung di balik Gus Dur, ia pun bebas berbicara begini-begitu. Langkah-langkahnya ini – termasuk pelariannya ke The Wahid Institute – sudah dapat diprediksi sejak lama.



Belum lama ini, salah satu organisasi kaum liberalis yang diberi nama LibForAll (dari namanya Anda bisa langsung menebak misinya) mengadakan acara kunjungan ke pemerintahan Zionis. Mereka beramah tamah dengan sangat mesranya dengan Shimon Peres dan para pembantai lainnya. Seperti biasanya, mereka catut nama Muhammadiyah dan NU. Syafiq Mughni mereka sebut-sebut sebagai cendekiawan Muslim dari Muhammadiyah, sedangkan Abdul A’la disebut-sebut sebagai wakil dari NU. Selain bermesra-mesraan dengan Shimon Peres dan para penjahat perang lainnya, mereka pun berpartisipasi dalam perayaan Hanukkah (salah satu perayaan umat Yahudi) dan ikut menari-nari bersama mereka. Mereka ini hendak meneruskan para pendahulu mereka yang tahun 1994 dahulu telah lebih dulu mampir untuk bermesraan dengan para pembesar Zionis. Para pendahulu mereka itu cukup dikenal kedekatannya dengan pola pikir Zionis, yaitu Gus Dur, Habib Chirzin, dan Djohan Effendi.



Din Syamsuddin selaku Ketua PP Muhammadiyah kemudian menyangkal keberangkatan Syafiq Mughni sebagai wakil Muhammadiyah, dan PBNU pun menyangkal status Abdul A’la sebagai wakil NU. Kedua ormas besar itu nampaknya juga cukup terguncang dengan kemesraan yang dipertontonkan oleh kader-kadernya dengan pihak Zionis.



Sekarang, di milis-milis dan via SMS juga tersebar berita akan adanya acara kristenisasi masal di sejumlah stasiun televisi swasta pada tanggal 15 Desember 2007. Masihkah ada alasan untuk mengatakan bahwa ghazwul fikri itu jauh di seberang lautan?(file:///F:/Nasehat/perang%20pemikiran/Ghazwul_Fikri_di_Pelupuk_Mata.htm)



0 komentar:

Posting Komentar

A Good Reading © 2008. Design by :Yanku Templates Sponsored by: Tutorial87 Commentcute